Partai revolusioner….

Di sederetan negeri di mana kelas borjuis masih muda dan rejim politiknya baik otokratik atau baru saja menjadi demokratis seperti Indonesia, ada bahaya bahwa kaum proletar akan mengekor kaum demokrat borjuis. Kaum borjuis Perancis berhasil melaksanakan revolusi mereka pada tahun 1789-1793, tetapi sejak saat itu polanya telah berbeda. Contohnya, kaum borjuis di Jerman pada tahun 1848 berkhianat terhadap revolusi mereka dan menyerah kepada raja dan para Junker (pemilik tanah). Kaum borjuis Jerman takut akan bangkitnya kelas buruh. Dewasa ini kelas buruh terdapat di mana-mana dan dipekerjakan di pabrik-pabrik yang jauh lebih besar daripada yang ada pada tahun 1789 atau 1848. Sehingga ketakutan akan kaum proletar selalu melumpuhkan para politisi dan intelektual borjuis. Pada bulan Maret 1850 Marx mengatakan bahwa kelas buruh Jerman seharusnya tidak meletakkan dirinya dibawah kaum liberal borjuis dan golongan intelektual borjuis kecil:

Hubungan antara partai revolusioner buruh dan golongan demokratis borjuis kecil adalah sebagai berikut: partai tersebut berjuang bersama mereka melawan faksi yang harus digulingkan, tetapi kita melawan mereka dalam segala hal di mana mereka berupaya mengkonsolidasikan posisi mereka demi kepentingan mereka sendiri.

Jauh dari keinginan untuk mengubah seluruh masyarakat demi kepentingan kaum proletar revolusioner, golongan demokratis borjuis kecil berusaha untuk mengubah keadaan-keadaan sosial agar masyarakat yang ada akan menjadi seenak dan senyaman mungkin buat mereka sendiri …

Walau golongan borjuis kecil demokratis ingin menyelesaikan revolusi secepat mungkin … kita berkepentingan dan bertugas untuk membuat revolusi menjadi permanen, sampai seluruh kelas pemilik tersingkirkan dari posisi mereka yang dominan, dan kaum proletar merebut kekuasaan negara …. Bagi kita masalahnya bukanlah perubahan kepemilikan swasta, melainkan penghapusan kepemilikan swasta; bukan mengurangi antagonisme kelas, melainkan penghapusan perbedaan kelas sama sekali; bukan perbaikan masyarakat yang ada melainkan pendirian masyarakat baru.

Sudah jelas bahwa dalam konflik-konflik berdarah mendatang, seperti dalam konflik yang terdahulu, buruhlah yang harus memperjuangkan kemenangan dengan keberanian, kebulatan tekad dan pengorbanan diri mereka. Dalam perjuangan sekarang, seperti dulu, kebanyakan besar borjuis kecil akan tetap bersikap ragu-ragu selama mungkin, tidak mengambil keputusan dan tidak aktif; tetapi kemudian, begitu hasil peperangan sudah jelas, mereka akan merebut buah hasil itu demi kepenting mereka sendiri, serta menyuruh kaum buruh untuk tetap tenang dan kembali ke pekerjaan mereka. Mereka akan mewaspadai semua kelakuan yang “keterlaluan”, dan merintangi kaum proletar untuk ikut menikmati hasil kemenangan … sehingga kaum buruh sendiri harus melakukan sepenuhnya demi kemenangan akhir mereka sendiri, memperjelas apa kepentingan kelas mereka, serta memposisikan diri mereka sebagai partai independen sesegera mungkin. Dan tidak membiarkan diri disesatkan oleh omongan munafiq dari golongan demokratis borjuis kecil ke dalam penahanan diri dari organisasi independen partai proletarian. Semboyan tempur mereka haruslah: Revolusi Abadi (“the Revolution in Permanence”).

Sekitar satu setengah abad kemudian, kaum borjuis dan intelektual borjuis bahkan bersikap lebih pengecut lagi. Partai revolusioner harus mengambil jarak dari mereka, walaupun mereka berpura-pura agak “merah”. Pimpinan demokratis yang paling terkenal saat ini di Indonesia adalah Megawati dan Amien Rais. Ketika Indonesia merdeka tahun 1945, negara ini dipimpin oleh ayahnya Megawati, Sukarno dan pemerintahannya yang nasionalis borjuis, berdasarkan Pancasila dengan aspirisi persatuan dan kesatuan bangsa. Tetapi sebuah masyarakat kapitalis tidak bisa mencapai kesatuan nasional karena dia berdiri berdasarkan pada eksploitasi kelas-kelas tertindas oleh kelas yang berkuasa. Sehingga perjuangan kelas akan berlangsung terus, dan gerakan buruh harus tetap independen dari partai-partai nasionalis borjuis. Tragisnya, Partai Komunis Indonesia bukannya menentang Sukarno, justru sebaliknya setuju sepenuhnya kepadanya tentang perlunya kesatuan. Akibatnya adalah kata-kata St. Just terpenuhi: “Mereka yang membuat revolusi secara setengah-setengah akan menggali lubang kubur mereka sendiri.”

PKI mempunyai jumlah anggota yang jauh lebih besar daripada Partai Bolshevik saat terjadi revolusi, yakni tiga juta dibanding 250.000 anggota. Kelas buruh di Indonesia saat itu lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan kelas buruh di Rusia di puncak revolusi. Kaum tani di Indonesia juga lebih banyak daripada di Rusia. Tetapi saat Suharto (yang memang diangkat oleh Sukarno) mengadakan kudeta tahun 1965, PKI tetap pasif seperti lumpuh karena masih menaruh harapan kepada Sukarno. Sekitar setengah juta orang dibantai. Megawati sedikitpun tidak lebih maju daripada bapaknya, dan tidak bisa diandalkan.

Pemimpin lain dari kaum nasionalis borjuis di Indonesia adalah Amien Rais. Sikapnya tidak berada di kiri Megawati. Selama bertahun-tahun dia telah mengungkapkan sentimen rasis terhadap warga keturunan Tionghoa. Amien Rais anti terhadap orang Cina, tetapi sering agak toleran terhadap Suharto dan Habibie. Sebelum tumbangnya Suharto, si Amien mengaku bersedia menunggu enam bulan untuk membuat reformasi politik, kemudian begitu Suharto mundur, dia bersikap agak bersimpati kepada Habibie.

Gus Dur, seorang tokoh liberal lainnya, suka mencari “dialog” dan “rekonsiliasi” dengan orang-orang Orba seperti Tutut dan Suharto, dan menuduh para akitivis mahasiswa dibayar oleh CIA.

Megawati, Amien dan Gus Dur kerdil dibandingkan dengan tokoh revolusioner borjuis masa lampau seperti Robespierre atau Danton (pemimpin terkemuka Revolusi Perancis), dan sama sekali tidak lebih militan daripada para borjuis pengecut di Jerman pada tahun 1848 yang dikecam Marx dengan tajam saat itu.

Indonesia, seperti banyak negara-negara yang sedang berkembang lainnya, menghadapi tugas-tugas demokratis borjuis yang serius: menjalankan demokrasi politik, memecahkan masalah agraria, mengatasi perpecahan dalam negeri, dan mengakhiri tekanan terhadap minoritas agama dan nasional, juga tekanan terhadap perempuan dan kaum homoseksual. Hanya dengan kemenangan revolusioner kaum proletar, tujuan demokratis ini dapat terlaksana sepenuhnya. Pada waktu yang sama, sementara berjuang demi kemenangan tersebut, partai revolusioner harus bertindak sebagai corong orang-orang yang tertindas, dan memobilisasi kekuatan tani, kaum minoritas suku-agama-ras, perempuan dan kaum homoseksual.